Aku yang masih saja bersandar di
bawah pohon mangga, ditemani
sayup-sayup angin yang berlari – lari mencoba menggugurkan dedaunan. Sore itu memang beda dengan sore yang lain,
maklum di negeri ini
sedang mengalami musim panca roba. Membuatku semakin tercekik dengan keadaan
ini, aku adalah siswi yang baru lulus SMA. Kecerdasanku cukup tinggi dalam
bidang nonakademik salah satunya adalah seni tari. Namun, secarik harapan untuk
melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi harus kupendam dalam – dalam karena
terbatasnya uang dan lokasi sekolah yang jauh. Meski kadang menyentak ke dalam
pikiran tapi apa daya saat ini aku hanya mampu menatap rumahku yang telah pudar
warnanya, genting yang satu persatu mulai merosot dan satu persatu mulai ada yang
jatuh, karena tuanya penyangga hingga tak mampu menopangnya, juga daun pintu yang berteriak saat angin
sedikit kencang datang menyapa. Belum lagi papan rumah yang menjadi santapan
rayap tiap harinya. Rasanya
tak tega jika harus melanjutkan kuliah.
“Nar... Narti???” panggil ibu
sambil menyiapkan air untuk mandi bapak.
“Dalem,
Bu. Ada apa???”
“Tolong
belikan benang lungsi dan benang pakan ya??? Ibu mau mencoba membuat tenun ikat
lungsi.”
“Iya,
Bu. Kalo uangnya sisa,
buat Narti ya?? Hehhehee” ledekku sambil mencolek ibu.
Ibuku
rajin menenun disela – sela kesibukannya mengurus rumah. Biasanya Ibu membuat
tenun ikat pakan, namun kali ini Ibu mencoba tenun ikat lungsi yaitu tenun
dengan desain yang terjadi dari kumpulan benang lungsi yang dibentangkan pada
alat perentang di ikat dengan tali rafia kemudian di celup. Setelah mengering,
pada bagian yang ditandai oleh warna rafia tertentu dibuka ikatannya dan
dicolet dengan warna yang diinginkan. Setelah kering, kemudian ditata pada alat
tenun dan ditenun dengan benang pakan warna tertentu sesuai dengan warna yang
diinginkan secara keseluruhan.
****
“Gubraaaaakkkk!!!!!!!”
suara meja yang ditampar tangan bapak.
“Buk..!
Narti..!!”
“Dalem,
Pak?? Enten nopo nggeh??” jawab ibu lirih penuh
ketakutan.
“Apa kau tega menyuguhkan
suamimu dengan sayur kemaren kayak gini!!!’’bentak bapak dengan mengepal
jari-jari tangannya.
“Pak, maafin aku uang
yang kemarin habis untuk bayar beras,jadi belum bisa beli sayuran yang baru ‘’ibuku
memelas.
Bapakku
selalu saja marah-marah ketika tak ada makanan di rumah. Bapak tak pernah
mengerti keadaan ini,pekerjaannnya hanya seorang tukang semir kadang juga
berubah menjadi tukang sol. Namun Ibuku tak pernah menampakkan helai-helai penyesalan
diwajahnya, ia
selalu bersyukur dengan yang ada.
Setelah
puas menguliti kegalauan,aku bergegas menuju desaKalirejo,di desa tersebut aku menyalurkan
bakatku kepada anak-anak desa yang rumahnya bersebrangan dengan
desaku.Ya,apalagi kalau bukan menari???
‘’Mbak Nar...Mbak Nar...??’’ sekelompok
anak desa memanggil namaku dari jauh.
‘’Hey..buruan
kesini!”perintahku dengan melambai-lambaikan tanganku.
‘’Mbak Nar,kita mau belajar
tari apa nih??’’
“Gimana kalau tari sembah
mbak?”pinta Ani, anak desa yang berambut ikal.
Dulu
saat aku masih duduk di bangku SMA aku pernah menjadi ketua eskul tari di
sekolahku,
dan meraih beberapa prestasi lomba didalam dan diluar sekolah. Saat ini aku
baru menguasai 8 jenis tari daerah
,seperti tari Legong dari Bali,tari Andun dari Bengkulu,tari Topeng ,tari Yopong
dari Betawi ,tari Serimpi dari Jawa tengah,
tari
Baksa Kembang dari Kalimantan Selatan,tari Bedana dan tari Sembah dari Lampung.
‘’Mbak tari sembah itu
gimana sih??”celtuk Nisa
sambil menari nari kecil.
‘’Tari sembah atau tari
sigeh penguten berasal dari suku pepadun. Penarinya beberapa orang sambil berdiri,duduk,dengan gerakan seperti menyembah.Seorang penari utama
diakhir penampilan tarian biasanya membawa kotak atau wadah sirih yang terbuat
dari kuningan lalu disodorkan
kepada tamu agung,sang tamu mengambil permen dari wadah tersebut sebagai simbol
penyambutan”.BegituNisa.!
Senja
mulai menghilang ,gelap mulai datang. Tak ada listrik ataupun sekadar lampu
patromax, hanya ada satu lilin
yang menerangi rumahku itupun hanya di ruang tamu. Cahaya bulan yang amat
terang memaksa masuk lewat papan-papan dan bambu-bambu rumah yang sudah bolong.
Tak terasa geser waktu terus melaju , empat bulan sudah aku mengabdikan diri
untuk anak-anak desa,mempertahankan budaya yang ada meskipun terhalangoleh
omongan-omongan tetangga yang mengatakan
menari itu buruk,namun suatu saat aku akan membuktikan pada mereka betapa
pentingnya sebuah budaya.
‘’Mau sukses darimana
kamu!!kalau cuman nari ,nari dan nari!”tegas bapak dengan melotot ke arahku.
‘’Loh Pak, Narti bisa kok
sukses dengan menari.’’aku menjelaskan.
‘’Sukses itu kayak si Mega dia jadi pegawai bank,kayak
si Wahyu dia jadi guru,bukan jadi penari gratisan
kayak kamu!!”bapak menekan kepalaku dengan telunjuknya sampai memantul.
Aku
membiarkan butiran demi butiran bening mengalir dari kelopak mataku. Bapak menganggap sukses itu kalau bisa bekerja
dengan bayaran tinggi sehingga tak heran bapak sering mencetuskan kata-kata
bodoh padaku,juga sering bapak memanggilku dengan sebutan ‘’SI PETUK’’. Berbeda dengan Ibuku
yang selalu mendukung setiap kegiatan dan keinginanku. Hanya dia satu-satunya
orang yang selalu mendorongku untuk tetap kuat dan bertahan.
****
Hari ini aku
terpaksa melatih mereka di halaman rumahku karena Ibuku jatuh sakit. Kali ini
aku menggembleng adik-adik untuk fokus berlatih tari Bedana. Kebetulan di desa Kalirejo mengadakan
hajat besar perayaan ulang tahun desa tersebut yang salah satunya ada lomba
tari daerah lampung.
‘’Nanti kalo aku menang
aku mau beliin kalian bakso hehe “sahut Nisa bergurau
‘’Aku mau beli sepatu baru.”
“Aku mah..mau jalan-jalan
ke Jakarta.”
Satu persatu
dari mereka berimajinasi tentang
mimpi-mimpinya. Sementara aku yang sudah letih menyandarkan tubuhku di bawah
pohon mangga yang kegemukan. Sambil sesekali menyipitkan mata tersenyum-senyum
membayangkan jika nanti aku dan anak-anak desa ini bisa membawa sebongkah
kemenangan.
‘’Ngapain pada menari
disini!bubar..bubar!!”tiba-tiba bapakku datang dengan sepikul bentakan
–bentakan yang dilontarkan untuk kami. Aku hanyadiam mataku berkaca-kaca sambil
menepuk bahu anak-anak tari agar tabah dengan kejadian ini.
‘’Mulai besok, kalo masih
pengen nari harus bayar sama Mbak Narti,ngerti!!”
paksabapak.
‘’Tapi Pak...?”
“Tapi apa?? Terserah kamu
kalo kegiatan membuang-buang waktu ini tetap berlanjut suruh tuh anak-anak gak
tau malu ini bayar. Hidup itu gak ada gratisan!!”
Tanpa berfikir
panjang ku ajak dua kaki ini berlari
melawan derunya angin,
membakar raga di tengah sawah.
‘’Aaaaaa...aaaaa...!!”aku
menjerit melepas tali kerasnya hidup.
‘’Bapak...aku bisa
sukses!!aku akan menghapus aksara derita iniii...!”
Aku
tak boleh menyerah ,sekelam apa pun hidupku kehidupanakan tetap berlanjut. Aku akan
mewujudkan mimpi besarku bersama anak-anak desa itu. Melawan nasehat Bapak yang menyuruhku berhenti melatih nari ,tapi aku tak
menyerah aku akan tetap melatih dengan cara sembunyi-sembunyi.
‘’Pak, Narti mau pergi ke rumah teman
mau pinjem buku’’
Bapak
hanya diam ,mengacuhkan kepergianku. Hanya
Ibuku yang tahu kalau sebenarnya aku melatih nari.
****
Jarum
jam yang melingkar di tanganku menunjukkan pukul 17.00
wib. Aku harus pulang.
‘’Pokoknya hari minggu besok harus tampil
the best, oke??”
‘’Siap Mbak!”
“Oke Mbak..’’
Semangatku
seperti api kala itu. Membakar beban-beban kegersangan. Langkahku seperti pedang
menusuk-nusuk menembus pelangi yang masih bertengger di kaki langit. Perlahan aku
meninggalkan tempat kami menari tadi dan menuju pulang.
Masuk gang rumah,tiba-tiba ada mobil ambulance yang perlahan –lahan berhenti. Sopir turun
. Di dalamr umah nampak tetanggaku berkerumunan ,aku pun mempercepat langkahku karena
penasaran. Aku merangsek menembus kerumunan,ternyata yangdikerumuni adalah seorang
wanita yang tak lain adalah
Ibuku.
‘’Ibuuuk…!!Ibu kenapa Buk??Bangun Buk,Narti pulang!”teriakku dengan mencium jasad
ibuku yang meninggal dunia akibat sakit jantung.
‘’Hiiks..!hiiks..!!” isak tangisku terus
meluap-luap.
Entah
rencana apa yang Tuhan beri untukku. Berat sekali hidup ini. Mataku bahkan tak ingin
membuka,tidak ingin melihat ini! Bagai luka menganga yang terkoyak,wajahku begitu
pucat . Tenagaku benar-benar habis malam ini.
‘’Sabar ya Nduk,,”bulek Reni,tetangga samping rumah menyuguhkan air
putih, ia menenangkanku.
‘’Ya Allah ..!! cobaaan apalagi ini!Salah apa aku??Shalat
ku tak pernah terlewatkan,ngaji selalu aku lakukan,shala tsunnah apalagi!Kenapa
Kau begitu tak adil Tuhan?? kenapa ? ha..??”
tanpa sadar aku telah memprotes Tuhan. Akusangatlahrapuhmenikmatipermainanini.
Kehilanganseseorang yangselaluadabuataku,selalumendukungdanmemotivasiku.
Sekaranghanyatinggalbapak.Akutakdapatmembayangkanjikaharushidupberduadenganbapak
yang selalumenentangkeinginanku..
****
Lima
harisetelahkematianIbukeadaanmemaksakuuntukmenjadiseorangIbudanseoranganak.Duaperan yangmenantangcakrawala.Mencuci,memasak
,membersihkanrumah,belumlagibelanjadanlainnya.
‘’Kring..kringg..!”
‘’Hallo Mbak Narti..? aku sama temen-temen udah pada kumpul niih..!”
‘’Oke..Mbak siap-siap berangkat”
Hari
ini adalah puncak perlombaan tari daerah Lampung. Aku dan adik-adik sudah memantapkan
diri untuk ikut lomba tari ini.
“Narti…! Buruan tuh lombanya udah dimulai
tuh.!!”teriak mbak Sri,tetanggaku yang kebetulan tahu kalau kami ikut lomba.
“Ssuuttt..!”aku meletakkan jari telunjukku
di depan bibirku.
“Owallah..jadi selama ini kamu masih
menari to Nar??”Tanya
bapak dengan muka memerah.
“Ee..e maaf Pak.”
“Masuk kamu ! tolol kamu ya?Dungu kamu
ya?Sudah berapa kali Bapak mengingatkan, jangan nari! Jangan nari! Memalukan!” bapak memarahiku
dan mengunciku di kamar agar aku tidak bisa mengikuti lomba menari.
“Dah..!gak usah keluar-keluar rmenari
yang gak jelas “
Aku benar-benar ingin membunuh Bapak.Aku muak dan jijik melihat tindakan-tindakannya padaku.
Batinku tersayat-sayats angat perih. Aku memikirkan nasib anak-anak desa yang
menungguku di sana .Merunduk penuh do’a semoga jalan selalu ada.
‘’Alhamdulillah..Gusti..!jendela kamarku
tak d ikunci” gumamku dalam hati penuh kebebasan. Perlahan aku keluar lewat jendela kamar tanpa
sepengetahuan bapak.
****
“Mbak Nar lama banget sih..!”keluh adik-adik .
‘’Ceritanya panjang,eh kita udah dipanggil belum?”
“Belum, masih ada dua kelompok lagi setelah itu baru kita”
Di
lapangan Kalirejo dipenuhi dengan lautan manusia . Begitu padat dan ramainya penonton
dari berbagai desa ditambah kedatangan Gubernur Lampung Tengah dan orang-orang
besar lainnya.
“Penampilan selanjutnya dari peserta
nomor urut 17,yee..beri tepuk tangan.!”
“Ayoo..ayo dek siap-siap naik ke panggung”aku
mengajak adik-adik.
Musik mulai dimainkan,kami mempersembahkan tari Bedana
kepada para tamu undangan. Tak jarang dari mereka mengeluarkan HP, i-pad,dan apalah
itu namanya untuk memfoto dan merekam penampilan kami. Hingga para juri yang terus-menerus
menyunggingkan senyumnya saat melihat penampilan kami. Sambil sesekali aku melihat
ke arah penonton .
“Astagfirullah..Bapak!”aku tersentak kaget tetapi tetap menari.
Ternyata
Bapak yang mengatakan menari itu memalukan malah ikut menyaksikan.
Bapak memperhatikan ku tapi The show must
go on!.Ya, pertunjukkan harus segera
berlanjut. Setelah penampilan dari reguku usai, aku segera menuju ke belakang
panggung menunggu pengumuman dan menyiapkan diri untuk mendapat omelan dari Bapak.
****
“Dan inilah saat yang ditunggu-tunggu,juara
1 lomba tari daerah Lampung diraih oleh peserta nomor urut 17,yee…”teriak pembawa
acara itu.
Kami
langsung bersujud ,bersyukur dan berkali-kali mengucapkan hamdallah. Matahari
yang sedikit condong ke barat merekam betapa bahagianya kami. Bapak juga tersenyum
senang melihatku berdiri membawa piala dan menyaksikanku berfoto dan berjabat tangan
dengan Gubernur dan juri-juri professional.
“Perhatian semuanya!” ibu Feni, guru
tari dari UGM berdiri.
“Setelah melihat betapa lincahnya Sunarti menari, saya
sebagai guru seni tari mengangkat secara langsung Sunarti
untuk menjadi salah satu
anggota tari di sanggar tari melati,Yogjakarta.
“Ya Allah..maafkan aku yang sudah memprotesmu,tapi
Kau tetap menyayangiku, maafkan aku Ya Rabb”sesalku dengan penuh haru saat mendengar
aku dan kawan-kawan masuk di sanggar tari melati, Yogyakarta. Salah satu sanggar
tari terkenal di sana.
Semenjak
itu Bapak mulai luluh.
Bapakku sadar betapa indahnya dan berharganya sebuah budaya dan patut untuk dipertahankan. Kehidupanku menjadi lebih baik sejak aku menjadi
pelatih tari di Yogyakarta dengan pendapatan lima juta per bulan. Mungkin ini
yang di sebut kesuksesan oleh bapak yang dulu.
Komentar
Posting Komentar