Aku
Bukan Tulang Rusukmu
Oleh
Diah Ayu Hidayah
Aku
terdiam menatapi air hujan yang berpendar
indah di wajah rumahku. Berusaha
menghilangkan kebosanan yang merangkulku dua tahun ini. Menemukan sekelumit kesibukan adalah hal
paling sulit untukku. Itulah sebabnya aku sulit mencari kerja. Cacian dan
makian sudah hampir kenyang aku melahapnya setiap hari. Tetangga dan beberapa
keluarga tak sungkan untuk mengejekku yang masih mengandalkan jasa orang tua
untuk sekedar makan. Ya. Aku memang
Sarjana S1 Pendidikan Matematika dari Universitas Sriwijaya, Palembang. Kota yang sempat
menjadi tempat singgahku selama lima tahun. Kota yang menyimpan banyak sejarah
dan tangisan. Pun, kota yang terkenal dengan makanan khasnya, yakni pem-pek
Palembang ,juga menjadi saksi pertama kali jatuhnya hatiku dengan seorang
laki-laki.
Satu minggu yang
lalu, Mas Ikhwan, sahabat SMAku menawarkan pekerjaan untukku. Yaitu menjadi
seorang karyawan di salah satu supermarket di kota Metro. Seperti sedang
merangkai cinta. Sulit untukku mengungkapkan kegembiraanku mendengar kabar ini.
Tanganku bergetar saat mengisi blangko pendaftaran. Sedang Mas Ikhwan masih
dengan setia menemaniku.
“Izzah?”
“Ya,Mas.
Kenapa?” jawabku mengeriyitkan dahi melihat wajah Mas Ikhwan.
“Apa
kamu siap bekerja di sini? Seneng nggak?” tanyanya mencurigakan.
“Memangnya
kenapa? Kan Mas Ikhwan yang nawarin ini ke Izzah?”
“Maas!
Lihat ini! Astaghfirullah Mas, kenapa kok jadinya begini?” Aku terkejut melihat
syarat-syarat yang terpampang di lembar blangko berikutnya. “ Itulah kenapa Mas tanya seperti itu.
Maafkan, Mas. Sebelumnya Mas ndak pernah tau kalo ternyata ada syarat begini,Zah!”
Mas Ikhwan menjelaskan dengan seksama. Bak helai-helai daun yang terbengkalai
saat angin menggugurkannya dari ranting. Tubuhku merengkuh lesu. Bibir ini
memutih seketika.
“Mas? Bagaimana menurutmu?” tanyaku meyakinkan
lagi.
“ Seperti namamu
Izzah, “Izzah” itu artinya kemulian, harga diri.” jawab Mas Ikhwan menatapku
erat-erat. Otakku kembali berfikir keras. Menimbang-nimbang mana yang akan
menjadi keputusanku. Aku tahu, ini adalah pilihan yang amat berat dan berisiko.
Aku takut Tuhanku murka denganku. Namun aku juga takut mereka akan dengan
gilanya memakiku karena aku sebatas wanita pengangguran. Tidak seperti Angel,
Sekretaris di kantornya. Seperti Vecy, guru Bahasa Indonesia di SMA favorit.
Betty, seorang gadis lulusan SMP yang kini sudah menjadi pengusaha. Sedangkan
aku? Argh..! Rasanya ini adalah kesempatan emas yang tak boleh ku sia-siakan.
“Mas? Tapi nggak
mungkin aku melepaskan pekerjaan ini begitu saja! Apa kata tentangga kalo
Sarjana Matematika hanya menjadi seorang pengangguran?” kataku melotot ke arah
Mas Ikhwan.
“ Lalu, apa kamu tau
apa nanti kata Allah?” Mas Ikhwan lagi-lagi menyangkal pendapatku.
“Tapi, Mas?”
“Zah, sudahlah mundur
saja. Masih banyak pekerjaan lain yang tidak menggunakan syarat-syarat seperti
ini!” katanya sambil membalikkan badan. Entah setan apa yang berhasil mengusikku.
Menumbangkan komitmenku sebagai seorang muslimah. Aku tetap saja kekeh untuk bekerja
di supermarket ini. Aku muak dengan hinaan tetangga yang memekikkan telingaku.
Selembar kertas berisi tentang surat pernyataan
aku tatap dengan penuh kesungguhan dan kemantapan diri, tanganku memaksa
untuk menarikan coretan pena di surat pernyataan tersebut. Ya. Aku harus
menandatanganinya. Dengan sigap kuraih pena bertinta hitam. “Please,Zah!!!” tangan Mas Ikhwan menahan
jari-jemariku. “Mas? Kenapa Mas melarangku? Apa selama ini Mas membiayai
kehidupanku? Memberiku makan? Ha..?” bentakku sedikit tegas di hadapan Mas
Ikhwan. Beberapa pasang mata sempat memperhatikan percakapan kami berdua.
“Baik! Mas akan menikahimu! Mas akan membiayai seluruh kehidupanmu, Insyaa
Allah. Asal Izzah jangan bekerja di tempat ini!” ucap Mas Ikhwan sambil
menatapku sungguh-sungguh. Air mataku jatuh
berdebam membasahi pipiku, sungguh ini adalah hal yang sangat
mengejutkan. Aku diam seketika, tak berani berkata apa pun. Pernyataan Mas
Ikhwan masih meresap dalam pikiranku, memangkas syaraf-syaraf kewarasan.
Sungguh! Aku seperti gila!
“Ikut Mas pergi dari sini!” Mas Ikhwan menggamit
tanganku.
“Berhenti! Lepasin
tangan Izzah! Mas nggak berhak untuk melarangku!” sangkalku.
“Apa perkataan Mas
kurang jelas,Zah? Mas akan menikahimu,Zah! Mas akan menjamin semuanya, Insyaa
Allah!”
“ Menikah tidak mungkin secepat
ini,Mas. Dengan menikah pun apa bisa menghanguskan bibir tetangga-tetangga yang
senantiasa mengejekku? Justeru mereka malah akan semakin mengejekku karena aku
hanya ibu rumah tangga yang tak punya pekerjaan!” Aku nyerocos tak karuan. Mas Ikhwan tampak
lelah membujukku untuk tidak bekerja di sini. Mukanya merah masam seperti naik
pitam. Matanya sedikit melotot sambil berbalik arah dia meninggalkanku,
membiarkan gadis yang keras kepala ini tetap bekerja di sini. Mas Ikhwan melaju
begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata pun. “Mas Ikhwan?” Aku kembali
memanggilnya. Mas Ikhwan hanya menoleh tanpa menjawabnya. “Mas tak membenciku
kan?” tanyaku sedikit berteriak. Lagi-lagi, Mas Ikhwan hanya menggelengkan
kepalanya dan terus berjalan tanpa menoleh ke arahku lagi.
*****
Hari demi hari, bulan
demi bulan bahkan tahun demi tahun silih berganti. Semenjak aku memutuskan untuk bekerja di
tempat ini. Mas Ikhwan kini hanya titik di kejauahan. Ia bahkan tak pernah
menghubungiku lagi. Hanya gugusan bintang yang setia menemaniku . Air mataku
selalu berderai-derai kala mengingat kisah kasih bersama Mas Ikhwan. Namun di
sisi lain, Ayah dan Ibuku justeru nampak kegirangan dengan profesiku saat ini.
Mulut-mulut tetangga yang mulai bungkam untuk menyenandungkan makian kepadaku.
Meski masih ada beberapa diantara mereka yang dengan bangga tetap mencari
bilik-bilik kesalahan terhadap diriku. Memang semenjak bekerja di tempat ini
aku memutuskan untuk menanggalkan hijab yang sudah melekat di kepalaku
bertahun-tahun. Baju-baju gamis lebar, hijab tebal nan memanjang kini sudah ku museumkan di lemari. Kaos kaki bermotif
warna warni, juga lengkap dengan macam-macam bros kini juga hanya ku wariskan
pada adik perempuanku yang saat ini masih berada di Pondok Pesantren. Entah!
Semua ini aku lakukan karena aku memang butuh pekerjaan sebagai
kesibukanku. Tak peduli dengan semuanya!
Jangankan Mas Ikhwan, Sebelumnya guru
ngaji pun sudah menyarankan untuk tetap teguh pendirian dalam mengenakkkan
hijab ini. Namun, naas! Syarat wanita yang boleh bekerja di sini adalah mereka
yang tidak berhijab. Semenjak itu,
tubuhku hanya berbalut rok mini berwarna hitam, kaos kaki yang transparan dan
baju-baju yang bisa menggugah syahwat kaum adam. Aku sungguh tidak peduli hal
itu. Aku justeru dengan ria nya mengenakannya ke sana kemari. Tak peduli beribu
pasang mata memperhatikanku dengan ganasnya. Tatapan mata mereka tajam, seperti
singa yang hendak menerkam mangsanya.
*****
Siang itu, awan
datang berarak. Sengatan panasnya menembus pori-poriku yang sedang mengendarai
motor arah pulang. Sampai di rumah, baru saja aku melepaskan sepasang sepatu
coklat berpita, tiba-tiba datang seorang laki-laki merekahkan senyuman sambil
mengucapkan salam. “Walaikumsalam, ada apa ya, Mas?” jawabku santun. “Hanya mau
mengantarkan undangan, Mbak!” katanya. Mataku sedikit berkunang-kunang melihat
nama yang tertulis indah di undangan ini. Ya! Namanya Ikhwan! Ikhwan dan Laila.
Undangan ini bukan hanya mencabik-cabik perasaanku, tapi juga mengkoyak luka
yang belum kering dalam hati. “Kenapa menangis?” suara lembut itu bertanya
padaku. “Bu, Mas Ikhwan akan menikah? Dia sudah melupakanku,Bu!” ucapku
terisak-isak. “Ah..masak? Setegah itu kah si Ikhwan denganmu,Nak?” tanya Ibu
sambil melihat undangan duka ini. “Astaghfirullah,
Izzah! Wong yang menikah itu
Ikhwan!.” Ibu sedikit kaget. “Ya bener kan,Bu? Mas Ikhwan? Mas Ikhwan yang
selama ini aku cintai dalam diam.” jelasku. “Heey! Itu Ikhwan yang alamatnya di
Punggur, Lampung Tengah. Lihat nih! Alamatnya di Bandar Lampung,Zah! Lagian,
kamu sih nggak baca dengan teliti! Ini undangan kan untuk Ayah bukan untukmu!”
Aku terperangah gembira mendengar ucapan Ibu. Aku rebut kembali undangan itu
dan menelitinya lagi. “Oh My God!! Ku
kira ini Mas Ikhwan!.” Aku selalu berdo’a, semoga Mas Ikhwan segera mencari
tulang rusuknya yang hilang. Dan aku berharap, tulang rusuk itu adalah aku.
Pagi beranjak matang.
Segala aktivitas akan dimulai. Kuperhatikan Ibu membawa sekulak butiran gandum
ke pasar. Ayah yang sibuk menyiapkan cangkul dan sepedahnya ke ladang, juga aku
yang sedang memoles wajahku dengan make up yang terbilang mahal. Keseharianku
hanya begini-begini saja. Melayani orang-orang berduit yang menghabiskan
uangnya untuk belanja. “Mas, bagaimana kalo calon bayi kita nanti, kita belikan
sepatu lucu ini. Warnanya pink,Mas! Aku suka.” ucap salah satu pembeli pagi
ini. Aku dengan ramah bertanya, “ Selamat berbelanja,Ibu! Ini ada lagi model
yang baru,Bu! Warnanya juga pink lho?” Aku menawarkan sambil berjongkok
mencarikannya. “Nah, ini,Bu! Baa…” Aku belum sempat melanjutkan perkataanku.
Tanpa kompromi, air mata ini jatuh berderai melihat laki-laki gagah, berkumis
tipis, mengenakkan kaos putih. Rapi sekali! Sungguh tampan! Dia berdiri di
samping wanita yang hendak membeli sepatu untuk calon bayinya. “Mas Ikhwan??
Kok di sini?” sapaku. Mas Ikhwan hanya merekahkan senyumnya. “ Nemenin, Istri
Mas belanja,Zah!” ucap Mas Ikhwan dengan santainya. Tangannya yang gagah
mengelus perut wanita itu yang memang sedang mengandung. Lagi-lagi aku hanya
bisa menangis menyaksikannya. Buncahan duka dan lara sudah tak tertahan lagi.
Benar-benar membuncah! Aku berusaha menahan! Aku berusaha tegar di hadapan
mereka! Aku berusaha melayani mereka dengan profesional. “ Eh kenalin, ini
istri Mas,Zah! Namanya Wilda.” kata Mas Ikhwan. Aku hanya senyum menganggukan
kepala. “Maafkan Mas ya Zah! Mas nggak ngabarin kamu kalo Mas udah menikah,
karena Mas sekarang pindah di Bandung. Hari ini kebetulan Istri Mas pengen main
ke sini!” Mas Ikhwan menjelaskan semuanya. Dia memang tidak pernah peka kalau
aku mencintainya selama ini. Dalam hati hanya sabar yang ku harapkan. Isterinya
cantik sekali! Aku sedikit cemburu melihatnya. Pakaikannya seperti pakaianku
dulu, jilbabnya lebar ditutup dengan gamis kream yang begitu anggun. Rasanya
pasangan ini memang pantas untuk Allah pertemukan. Sedangkan aku? Aiih aih…aku
hanya sepotong hati yang dulu nyaris menjadi Isteri Mas Ikhwan.
Malam hari tiba, aku
berjalan tersaruk-saruk menuju rumah. Hari ini aku bekerja seharian penuh,
hingga harus pulang malam. Sambil berjalan, kejadian pagi tadi masih terhujam
dalam relung-relung memoriku. Apa jadinya jika lelaki yang aku cintai menikah
dengan orang lain? Aku bisa apa,Tuhan???? Dinginnya malam itu melengkapi
semburat luka yang bertamu padaku.“Aku cemburu,Tuhan! Aku cemburu melihat
mereka! Setegah itukah Mas Ikhwan terhadapku? Apa karena aku menanggalkan
jilbabku? Apa semuan ini karena pakaian miniku? Ah..memang janji Allah begitu
nyata. Seandainya dulu aku tak bekerja di sini. Seandainya dulu aku tak
menanggalkan jilbabku! Pasti Mas Ikhwan akan memilihku, bukan wanita cantik
itu!” protesku berandai-andai sambil mengusap air mata yang terus memaksa
keluar. Janji Allah memang tersegalanya. Janji-Nya amat pasti untuk umatnya.
Bahwa wanita baik untuk laki-laki yang baik pula, pun sebaliknya. “Ya
Rabbana…aku tahu aku bukanlah wanita yang baik! Sungguh, gelar sholihah saja
tak pantas melekat pada diriku! Tapi izinkan aku memperbaikinya, Izinkan aku
Allah…Beri aku sebilah waktu untuk memperbaiki semuanya!” lenguhku berdo’a. Aku
sabar menanti, tetapi Allah berkehendak lain. Ternyata bukan dirimu, dan aku
bukanlah tulang rusukmu. Aku belajar dari penantian ini, biarkan senja yang
mencoba menjawab semuanya.
Casino of the Month - JTM Hub
BalasHapusNew Slot Machines at 전라북도 출장샵 JTM. The newest, 경상남도 출장샵 innovative, 양주 출장마사지 and popular online 대구광역 출장안마 casino game, Casino of the Month. Casino 제주 출장안마 of the Month - JTM Hub.