Mari sejenak kita berpikir. Keluar dari
rutinitas pikiran yang begitu mengambil alih banyak waktu dan tenaga
kita. Mari bersama kita renungkan. Di era yang serba modern ini, dengan
segala kemajuan teknologi yang ada, jarak bukanlah alasan untuk
memisahkan. Adanya jaringan telekomunikasi dengan berbagai fiturnya,
mulai dari yang hanya bisa melakukan panggilan sampai dengan video call,
membuat ribuan kilometer terasa hanya beberapa meter saja, bahkan lebih
dekat lagi. Tidak hanya kemajuan di bidang komunikasi saja, namun
kemajuan di bidang transportasi juga turut andil dalam “mendekatkan”
jarak dan meminimalisir waktu tempuh yang ada. Aneh rasanya jika ada
orang sehat wal ‘afiat dengan segala kelonggaran waktu yang ada lebih
memilih berdiam diri di tempat tinggalnya, beralasan bahwa jarak yang
jauh dan waktu tempuh yang lama menjadi batasan dia untuk beranjak dari
kamarnya.
Mari kita pikirkan sejenak.
Begitu mudahnya kita dalam berdakwah. Segala fasilitas sudah tersedia
apalagi bagi mereka tinggal di kota-kota besar. Fasilitas yang ada
sangat mendukung, mulai dari internet yang kehadirannya mewarnai tiap
sudut kota, transportasi dengan jalan yang layak, perangkat mobile
yang selalu siap ada di saku celana atau tas kita, dan lain sebagainya.
Hidup yang begitu lengkap, mudah, dan nyaman. Ya sangat lengkap, mudah,
dan nyaman jika dibanding dengan mereka yang melakukan aktivitas di
daerah yang terpencil. Bahkan mungkin tak terpencil lagi, orang kota
tahu saja pun mungkin tidak. Bayangkan mereka yang harus jalan naik
turun bukit, berbasah-basahan, menyusuri belantara hutan berpacu dengan
waktu agar tak terdahului sang senja, hanya untuk mengajarkan anak-anak
pedalaman membaca AlQuran. Dan tidak hanya itu saja, target dakwah yang
kita orang kota tuju jauh lebih mudah daripada mereka yang ada di
pedalaman.
Mengapa lebih mudah? Karena
orang kota mayoritas sudah berpendidikan, minimal mampu mengerti bahasa
Indonesia. Dan apakah hal tersebut juga terjadi di pedalaman? Mungkin ya
tapi probabilitasnya sangat kecil. Bahkan di beberapa lokasi di
Indonesia sangat timur sana, bahasa yang digunakan masih bahasa
tradisional setempat dan sulit berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Tak hanya kendala bahasa saja, kalau hanya kendala bahasa mungkin bisa
meminjam jasa penerjemah, kita tahu dan orang sana juga tahu. Semua
sama-sama tahu. Namun bagaimana jika kader tersebut harus berdakwah
dengan suku pedalaman yang masih kental atmosfer animisme dan
dinamismenya. Bangsa ini masih begitu banyak menyimpan potensi objek
dakwah, namun hanya sedikit dari mereka yang mampu dan mau
mendatanginya.
Dalam bukunya, Quantum Tarbiyah,
Solikhin Abu Izzudin menceritakan bahwa di Aceh sana ada seorang wanita
yang sedang hamil rela berjauh-jauh hingga menempuh jarak kurang lebih
80 km hanya untuk mengisi ta’lim. Atau ada lagi kisah ustadz Irfan yang
beliau lebih memilih untuk mengabdikan dirinya terjun ke lapangan,
mengurusi tujuh kecamatan yang lokasi satu sama lainnya berjauhan.
Hingga akhirnya ia syahid di perjalanan. Dan masih banyak kisah lagi dan
itu semua hanya secuil kisah dari penjuru negeri ini. Masih ada lagi
kader-kader yang begitu ikhlas mau mengabdikan dirinya untuk terjun ke
masyarakat di berbagai penjuru negeri ini hanya untuk menyampaikan satu
dua ayat kebaikan.
Ke depannya memang
perlu dipikirkan bagaimana agar kader-kader yang berada di wilayah
terpencil ini bisa terbantu dan dimudahkan dalam berdakwah. Dari
beberapa sumber yang ada, yang melakukan dakwah ke masyarakat di
pelosok-pelosok tidak hanya orang Muslim tapi juga non-Muslim pun
melakukannya. Yang ironi adalah para “pendakwah” non-Muslim itu bergerak
bersama dan terorganisir sedangkan masih kurangnya keberjamaahan yang
dilakukan oleh kader dakwah Muslim menyebabkan penyebaran Islam di
daerah tujuan sulit berkembang. Bukan karena ajarannya yang sulit, namun
kalah secara strategi.
Allah
menyediakan ganjaran besar dan derajat yang tinggi bagi mereka yang
senantiasa sabar dalam menjalani ujian yang diberikan. Jika yang
diberikan hanya ujian dengan taraf yang biasa saja, maka lulus dari
ujian itupun menjadi hal yang biasa pula. Tak terlihat ada hal yang luar
biasa. Di situlah letak nilai yang perlu ditekankan, letak hikmah yang
perlu digarisbawahi bahwasanya seorang kader dakwah harus senantiasa
bersungguh-sungguh dalam menjalani dakwah ini. Perlu adanya pengorbanan
dan kerja keras disertai kesungguhan hati. Perjuangan dakwah ini
bukanlah diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kemauan lemah, karena
jalan dakwah ini begitu berat dan penuh pengorbanan.
Dakwah
akan tumbuh berkembang di tangan orang yang memiliki daya juang yang
tinggi, atau dengan kata lain di tangan mereka yang memiliki jiwa
militansi. Jiwa yang selalu menggelorakan semangat juang tinggi yang tak
pernah sira dan pudar. Ajaran yang meraka ajarkan tetap hidup dan
menghidupi, walaupun raga yang menyampaikan sudah tak lagi ada di dunia
ini. Ajaran mereka akan selalu ada. Buat apa punya usia panjang dan
hidup lama namun tak ada hal berarti yang disampaikan.
Tak
ada yang suka dengan yang namanya kemiskinan. Dan di antara berbagai
jenis kemiskinan yang ada, jenis kemiskinan yang paling parah adalah
kemiskinan akan tekad. Kemiskinan akan tekad atau azam ini lebih
mematikan daripada miskin akan harta. Karena harta bisa dicari dengan
tekad kuat sebagai bahan bakarnya. Namun jika manusia kehilangan tekad
maka harta pun ikut melayang. Hal ini memiliki korelasi dengan tekad
dalam berdakwah. Dakwah adalah jalan yang sulit dan perjuangan akan
selalu ada di setiap langkahnya. Tidak mungkin orang akan keluar dari
“kegelapan” jika tidak ada tekad untuk meneranginya. Kita adalah pembawa
lentera yang bertugas menyampaikan cahaya dari lentera yang kita bawa
itu. Kegelapan akan tetap selamanya menjadi kegelapan jika tekad untuk
meneranginya lemah. Perlu azam yang kuat untuk melangkahkan kaki kita
merobek kegelapan.
Berkorban di jalan
Allah adalah mengembalikan sesuatu ke tempat asalnya, tempat yang
seharusnya ia berasal. Tujuan pengembaliannya tak lain dan tak bukan
adalah Allah semata. Misalnya saja kita menginfakkan harta kita. Maka
sejatinya kita sedang mengembalikan harta yang Allah titipkan ke kita.
Sama hal nya dengan waktu dan tenaga yang kita miliki. Segala ilmu,
waktu, dan tenaga yang kita miliki semuanya milik Allah dan kita wajib
mengembalikannya. Dan cara paling tepat untuk melakukannya adalah dengan
mendakwahkannya. Menyampaikan kebenaran agar kebenaran itu diketahui
orang banyak dan diaplikasikan dalam kehidupan. Semoga Allah memudahkan
langkah kita untuk menjadi penyampai kebenaran, pembawa lentera yang
siap berjuang menyinari mereka yang masih dalam kegelapan.
Komentar
Posting Komentar