Selamanya
Cinta
Oleh Anna Humaira
Aliawati
Lagi-lagi aku
bertemu dia. Inilah yang paling kubenci. Aku benci tatapan sinis yang seolah
ingin menerkamku. Aku selalu berpikir keras, seberat apa kesalahan yang telah kuperbuat
padanya. Dan lagi-lagi, tak juga aku temukan jawaban itu.
“Rey, duduk
sebelah sana yuk?” suara Dania membuat ku sedikit terkejut.
“Mm... Eh... Aduh...
Tiba-tiba perutku mules, Dan. Kamu pesan duluan aja." aku langsung
berbalik arah, buru-buru meninggalkan Dania yang tengah sibuk mencari tempat
yang nyaman.
“Loh, Rey?
Katanya kamu lapar, kok...” belum selesai Dania melanjutkan kalimatnya.
“Nanti aku
nyusul.” aku semakin mempercepat langkahku tanpa menoleh sedikit pun ke arah
Dania.
Dania berbalik,
berjalan menuju bangku panjang di pojok kantin.
“Mbak, bakso
satu, es teh satu.” Dania mulai memesan makan siangnya. Ia melepaskan pandangan
ke sekeliling kantin. Sejurus kemudian, matanya beradu pandang dengan seorang
gadis yang ternyata sedari tadi memperhatikannya. Tatapan sinis, persis sama
dengan tatapan yang membuatku kabur meninggalkan kantin. Pantas saja si Rey
tiba-tiba sakit perut, ternyata di sini ada Kak Vina dan Kak Dini. Dania
mendesah kesal. Ia paham betul apa yang sedang terjadi.
Ya, namanya Silvina
Putri. Dia kakak tingkatku di SMA ini. Aku duduk di kelas X.2 sedangkan dia
duduk di kelas XI.IPA 1. Sudah tiga bulan, tapi kejadian itu masih terekam
jelas di memoriku. Kejadian memalukan yang membuatku dimusuhi tidak hanya oleh Kak
Vina, tapi juga Kak Dini, sahabatnya.
Siang itu,
tiba-tiba Kak Vina menghampiri dan memakiku habis-habisan. Dia membenciku
karena kedekatanku dengan sahabatnya, Kak Firman, si Ketua OSIS yang populer
itu. Katanya, aku menjadi penyebab renggangnya hubungan persahabatan mereka.
Aku akui, beberapa bulan terakhir ini memang aku sangat dekat dengan Kak Firman.
Kedekatan kami berawal saat kami menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti
lomba Pramuka tingkat Kota. Aku menjadi peserta pidato bahasa Inggris sedangkan
Kak Firman menjadi peserta lomba LCT bersama Kak Vina dan Kak Doni.
Sejak itu kami
akrab. Kami sering bersama, hampir di setiap acara sekolah. Saat latihan
pekanan Pramuka, Kak Firman lah pelatihnya. Saat rapat majalah sekolah, Kak Firman
pun ada di sana. Tidak jarang Kak Firman menraktirku makan atau sekedar mampir
ke rumah, karena rute rumahnya memang melewati rumahku. Setiap malam pun kami
mengobrol melalui pesan singkat, meski hanya bertukar cerita tentang kekonyolan
yang masing-masing kami alami siang tadi. Begitulah, sosok Kak Firman menjadi
sosok yang istimewa di mataku, bahkan di hatiku.
***
Hari berganti,
masa SMA kulewati dengan berbagai prestasi. Begitu juga Kak Firman. Dialah yang
selalu memotivasiku untuk terus berprestasi.
Dan hari ini,
tepat delapan bulan berselang sejak terakhir aku bertemu dengannya di perayaan
kelulusan sekolah. Kak Firman telah menjadi seorang mahasiswa fakultas
Ekonomika dan Bisnis di pulau seberang. Kami hanya bertukar kabar lewat pesan
singkat atau sosial media, tapi itu pun jarang. Sepertinya, Kak Firman sangat
sibuk dengan aktivitas barunya sebagai seorang mahasiswa. Aku sangat maklum,
karena di sekolah dulu Kak Firman salah satu aktivis yang paling aktif. Itulah
mengapa aku sangat mengaguminya. Dialah bintangku. Bintang terang yang selalu
bersinar.
Seingatku, baru
kali ini Pak Pos datang ke rumah mengantarkan paket. Setelah aku amati,
ternyata itu adalah sebuah bingkisan yang terbungkus kertas merah muda. Jelas
tertulis di sana ‘From Firman to Raya’. Hatiku berdebar ketika menerima
bingkisan itu. Tak sabar rasanya ingin segera mengetahui apa yang Kak Firman
kirim untukku. Aku pun membukanya, sebuah buku yang juga berwarna merah muda,
cantik.
Aku baca judul
buku itu ‘Udah Putusin Aja!’ karya Felix Y. Siauw. Bagai tersambar petir di siang
bolong. Apa maksud Kak Firman mengirim buku dengan judul seperti ini? Apa Kak
Firman ingin melupakanku? Atau Kak Firman sudah menemukan seseorang yang lebih
cerdas dan dewasa daripada aku? Aku tahu persis tipe wanita idaman Kak Firman.
Cerdas dan dewasa, seperti yang pernah ia ceritakan padaku.
Jangan kan untuk
membaca isinya, membaca judulnya pun aku merasa lemas. Aku hanya diam. Air
mataku perlahan mulai menetes. Lama, aku terlarut dalam tangisku. Aku mencoba
menguatkan hati membuka buku itu. Rupanya sepucuk surat yang juga berwarna
merah muda terselip disana. Aku segera menarik nafas dalam-dalam, ku hembuskan
perlahan. Surat itu mulai kubaca.
Untuk
Raya yang selalu ceria
Assalamu’alaikum
warahmatullah.
Semoga
Raya selalu dalam keberkahan Allah.
Raya,
beberapa tahun ini persahabatan kita sangat dekat. Aku ingin mengucapkan
terimaksih atas semua kebaikan mu. Aku sangat menghargai itu. Aku juga ingin
meminta maaf jika selama kita bersahabat ada sikap dan kata yang menyakiti hati.
Mungkin
lewat buku ini semuanya akan terjawab. Aku tidak bisa menjelaskan apa-apa,
karena semuanya sudah tertulis di buku ini. Semoga setelah membaca buku ini,
Raya dapat memahami sikapku ini.
Yakinlah
bahwa semua yang dimulai dari keyakinan yang benar akan berakhir pada kenyataan
yang indah. Sekali lagi, terimakasih atas semua kebaikanmu. Dan, maaf atas
segala kesalahanku.
Wassalamu’alaikum
warahmatullah.
-Firman-
Aku tidak
sanggup membendungnya, air mataku tumpah. Tiba-tiba pandanganku samar. Gelap.
***
Tiga bulan
berlalu, kenyataan ini masih sulit aku terima. Telah kucoba berbagai cara agar
aku tak terlalu larut dalam kesedihan. Aku sibukkan diri dengan berbagai macam
aktivitas. Ah... tetap saja aku tak
bisa berpaling dari sosok istimewa itu. Meski rasa sakit hati ini terlalu
dalam, tapi Kak Firman masih sama di hatiku. Dialah bintangku.
Kulihat
sejuta bintang
Tersenyum pada katak yang bernyanyi,
pada titik-titik air yang berlarian
Pada air yang mengalir lembut
Pada ikan yang girang.
Sejuta bintang menatapku
Oh…,
tidak, bukan sejuta
satu milyar, tidak, lebih
Satu trilyun, tidak, lebih
Kini langit dipenuhi bintang
Oh…, tidak
Kini aku kehilangan sejuta bintangku
Move
on Rey! Kamu bisa! Inilah kalimat yang selalu aku
dengar dari mulut Dania. Meski aku hampir bosan mendengar kata-katanya itu,
setidaknya gaya konyol Dania ketika mengucapkannya dapat membuatku tersenyum.
Gaya yang sangat kuhafal. Ia pasti mengepalkan kedua tangannya lalu
mengangkatnya setinggi-tingginya, persis penggemar fanatik bola yang sedang
mendukung tim kesayangannya.
***
“Ma... Mama...
Mama di mana, Ma?” Teriakku sambil setengah berlari memasuki rumah. Aku sudah tak sabar menyampaikan berita
bahagia yang kunantikan sejak sebulan lalu.
“Mama di sini,
Sayang.” jawab Mama dari dalam dapur.
Aku segera
berlari menuju dapur kemudian memeluk mama erat-erat.
“Raya, lepaskan.
Mama nggak bisa nafas, lepaskan.” Mama segera menghela nafas setelah aku melepaskan
pelukanku. Aku melompat-lompat kegirangan. Tanganku menggenggam koran hari ini
yang baru saja aku beli di agen koran ujung jalan.
“Ada apa?
Sepertinya cuaca sedang tidak menentu ya? Sebentar hujan sebentar panas,
sebentar cemberut sebentar bahagia.” mama tersenyum meledekku.
“Senang, senang,
senang. Pokoknya Raya lagi happy banget,
Ma. Coba tebak, Ma. Apa yang membuat Raya senang?” Aku balik menggoda mama.
Belum sempat
mama berkata-kata. Aku segera menyambar tangan mama dan melompat-lompat,
berputar kegirangan.
“Raya diterima
di Fakultas Kedokteran UGM, Ma. Impian Raya terwujud.” Aku mendekap mama. Kami
larut dalam haru.
“Sebentar lagi
kita akan bertemu, Kak. Tunggu aku di sana.” ucapku lirih. aku berjalan menuju
kamar dengan mata berbinar.
Selangkah lagi
impianku terwujud, impian untuk menggapai bintangku. Dia cintaku, selamanya
akan tetap begitu. Selamanya cinta.
***
Lagi, aku
memastikan penampilanku di depan cermin kamar kosku. Aku amati dengan teliti
wajahku, kemeja putih dan rok hitam yang aku kenakan. Aku ingin menciptakan kesan
baik di hari pertamaku. Ya, ini hari pertamaku OSPEK. Kakak-kakak panitia
menyebutnya dengan istilah PPSMB ‘Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru’.
Kemarin Kak Aan menjelaskan panjang lebar saat technical meeting di lantai dasar gedung Auditorium 2. Ruangan yang
didesain kedap suara itu seperti sebuah ruang pertunjukan, semakin ke belakang lantai
semakin meninggi, luas dan nyaman.
Ku langkahkan
kakiku menyusuri gang-gang sempit Sendowo menuju kampus. Kampusku berjarak
sekitar 500 meter dari kosku di daerah Sendowo blok F, hanya lima menit jika
ditempuh dengan berjalan kaki. Kampusku, fakultas kedokteran, di sebelah Barat
berseberangan dengan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof. Dr. Sardjito dan
masjid Mardliyah. Sebelah selatannya berseberangan dengan kampus Fakultas Kedokteran
Gigi yang di dalamnya terdapat Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Prof. Soedomo.
Sementara sebelah Timur bersebelahan dengan Fakultas Farmasi. Sedangkan di
sebelah utara berseberangan dengan fakultas MIPA dan hutan biologi. Selain itu
kampusku juga berdekatan dengan Laboratorium Paleoantropologi dan
Bioantropologi. Laboratorium ini merupakan tempat studi manusia purba dan juga
bioantropologi.
Meski sudah beberapa
kali aku melangkahkan kaki di halaman fakultas kedokteran, tetap saja aku
merasa deg-degan. Tempat ini begitu
menawan, sangat luar biasa bagiku. Gedung-gedung kuliah bertingkat berdiri megah,
dilengkapi fasilitas lift di dalamnya,
membuat mahasiswa dan dosen tidak perlu membuang energi terlalu banyak untuk
menuju ruangan. Kantin-kantin terlihat bersih dan nyaman, membuat orang
membayangkan lezatnya makanan yang disajikan. Satu lagi, tempat parkir luas itu
dipenuhi puluhan mobil. Dan tentu saja mahasiswa yang terlihat cerdas dan cool, melihat mereka terkadang membuatku
terbersit rasa kurang percaya diri. Ah...
Baru saja aku
memasuki gerbang kampus, tampak tiga sosok gadis manis yang terlihat anggun
dibalut kerudung warna biru muda. Kerudung yang mereka kenakan berwarna senada.
“Assalamu’alaikum,
ini dik Raya kan ya?” salah saeorang gadis anggun itu mengembangkan senyum yang
ramah ke arahku.
Namanya Kak Lani,
rupanya ia masih mengingat namaku. Pekan lalu kami bertemu di Graha Sabha
Pramana saat pengambilan jas almamater.
“Iya, Kak.” Aku berusaha
membalas senyumnya dengan ramah. Meski ekspresi terkejut tak dapat ku
sembunyikan dengan baik.
Kak Lani mengulurkan
tangannya, aku menyambutnya, ia menjabat erat tanganku dan memelukku kemudian
menyentuhkan pipinya ke pipi kanan-kiri ku secara bergantian. Aku merasa
canggung dengan gaya bersalaman ini. Tapi aku dapat merasakan nuansa keakraban
dan kekeluargaan, hangat sekali.
“Ini.” Kak Lani
menyerahkan sebuah kertas biru muda berhias pita berwarna senada.
“Datang ya.
Penyambutan mahasiswi baru, acaranya hari Minggu jam sembilan, Dik”
“Eh.. iya, Kak.”
Aku tersihir oleh kelembutan dan keramahan gadis berkerudung lebar yang ada di
hadapanku.
Sambil berjalan
kuteliti kertas biru pemberian Kak Lani. Undangan yang cantik. Aku tersenyum.
Pasti aku akan datang.
***
Ku amati dari
kejauhan spanduk merah muda berlatar bunga khas Jepang. Aku baca tulisan di
spanduk itu SAKURA ‘SAmbut KelUarga baRu KaLAM’. Cocok sekali, acara yang
diadakan di Taman Medika itu memang hanya diperuntukkan bagi mahasiswi baru
seperti diriku. Aku semakin antusias untuk mengikuti acaranya.
“Assalamu’alaikum,
Kak.” aku memberanikan diri menyapa salah seorang Kakak panitia.
“Eh, Wa’alaikumsalam.” kakak itu tersenyum
dan menjabat erat tanganku dengan gaya khas bersalaman mereka. Aku sudah mulai
agak terbiasa.
Tapi, mendadak
rasa percaya diriku hilang. Aku lihat semua kakak-kakak panitia mengenakan
gamis atau rok panjang dipadu dengan kerudung lebarnya. Mereka terlihat kompak
dalam dresscode. Sangat anggun.
Sedangkan, aku mengenakan celana jeans biru ketat yang aku padukan dengan
kemeja biru dan kerudung putih. Ini lah satu-satunya kerudung yang aku punya.
“Silakan isi
daftar hadir dulu ya.” kakak itu menyodorkan selembar kertas yang masih kosong.
Aku peserta yang datang pertama kali rupanya. Ku tulis nama lengkap, prodi, SMA
asal, alamat kos, dan nomor HP.
“Raya Rasyida, dari
Lampung ya? Saya juga dari Lampung, Dik. Dari Smanda Balam.” namanya Kak Mega.
Tertulis jelas di name tag yang
tersemat di dadanya.
“Aku dari Metro
Kak. Salam kenal.”
Kami larut dalam
obrolan panjang, sesekali obrolan kami terselingi karena Kak Mega menyapa
peserta lain yang baru datang. Setidaknya keramahan Kak Mega membuatku
melupakan rasa tidak percaya diriku untuk sejenak.
Satu per satu
peserta berdatangan, tepat jam 09.00, acara akan segera dimulai. Peserta yang
hadir 34 orang, sekitar 14 persen dari mahasiswi baru yang beragama Islam.
Mungkin sebagian besar mahasiswi baru yang diundang tidak hadir karena masih
merasa lelah setelah tiga hari menjalani masa OSPEK yang menguras tenaga dan
pikiran.
Di depan sudah
ada Kak Lani sebagai MC yang mulai membuka acara. Pembacaan ayat suci Al-Qur’an
dibacakan oleh Kak Rani secara tasmi’.
Aku belum mengerti apa itu tasmi’.
Nana yang duduk disebelahku pun tak mengerti apa artinya. Yang jelas, Kak Rani
melantunkan ayat-ayat dengan suara yang indah tanpa memegang dan membaca mushaf. Setelah diselilingi yel-yel
penyemangat, kini Kak Lani memperkenalkan pembicara yang ada di sampingnya.
Namanya dokter Sari, beliau alumni KaLAM ‘Keluarga Muslim Cendekia Medika’ organisasi
keislaman yang ada di FK UGM.
Saat yang
kunantikan tiba, uraian materi dari dokter Sari. ‘Menjadi Muslimah Sukses’
dipilih dokter Sari sebagai judul materi motivasinya kali ini. Sejenak aku
terhanyut dalam lamunanku. Aku terpaku dengan kecerdasan dan energi yang
terpancar dari sosok dokter muda itu. Elegant.
Cara penyampaian materinya pun sangat menarik. Energi semangat yang ditransfer
sangat kuat, sehingga kami dapat menangkapnya dengan baik. Terbukti. Semua
terlihat antusias saat membuat target-target empat tahun ke depan, seperti yang
dokter Sari minta.
Sayang sekali,
acara yang menarik ini sudah berakhir. Sebelum ditutup, dokter Sari membagikan door prise kepada dua orang peserta yang
dapat menjawab pertanyaan yang diajukannya. Aku menjadi salah seorang yang
beruntung. Buku Best Seller ‘Super Health’ karangan Dokter Egha
Zainur Ramadhani, yang juga alumni FK UGM, menjadi milikku. Luar biasa. Hari
yang sangat menginspirasi.
***
Daya tarik
mereka bagaikan candu. Sejak hari itu aku ketagihan mengikuti semua kegiatan
yang mereka adakan. Mulai acara-acara yang menghadirkan pembicara terkenal
seperti talk show kesehatan dan
seminar, hingga acara-acara rutin seperti asistensi agama islam, kajian
keislaman sekitar kampus, tahsin Al-Qur’an, dan latihan kepemimpinan berjenjang.
Bahkan, aku juga pernah terlibat dalam kepanitiaan beberapa acara seperti Idul
Adha dan Bakti Sosial. Tidak hanya itu, aku juga mulai aktif dalam Forum
Lingkar Pena Yogyakarta. Kak Mega lah yang mengajakku bergabung. Rupanya kami
memiliki hobi yang sama, menulis. Aku sangat menikmatinya, dunia baruku di
kampus.
***
Sore ini, aku
berjanji menemani Kak Mega menemui temannya di Masjid Kampus. Kami memasuki
halaman masjid dari sisi utara. Halaman masjid kampus yang sangat luas ditanami
puluhan pohon palem. Kami berjalan ke halaman timur masjid, ternyata teman Kak
Mega sudah menunggu di sana, Kak Anita namanya. Kak Anita duduk bersama
beberapa orang temannya di pinggiran kolam. Mereka terlihat asyik berfoto
dengan latar pahatan indah bertuliskan lafadz Allah yang berdiri kokoh di
tengah kolam, sedang dari kedua sisi kolam itu memancar gemericik air mancur.
Berada di halaman masjid kampus saat sore hari memang terasa seperti berada di
taman kota, sangat asri dan sejuk. Apalagi ketika angin yang berhembus
sepoi-sepoi itu membawa butiran dingin air yang terpancar dari air mancur,
segar sekali. Maka tak heran jika setiap sore masjid ini ramai dikunjungi
orang-orang hanya untuk sekedar bersantai atau berfoto ria.
Beberapa saat
kemudian, Kak Mega dan teman-temannya terlihat serius berdiskusi, membahas proposal
PKM mereka. Sementara mereka asyik berdiskusi, aku juga asyik mengamati layar
ponselku, berselancar di dunia maya. Sesekali aku memperhatikan topik yang
mereka diskusikan. Rupanya mereka berencana mengadakan program pengabdian
masyarakat di daerah Merapi sebagai bahan proposal PKM mereka.
Aku mulai bosan
dengan ponselku, kini aku berganti menikmati keindahan interior masjid yang ada
di hadapanku sambil mengabadikan beberapa sisinya. Aku melihat ke atas, tampak
kubah masjid berbentuk limas khas arsitektur Jawa. Di bagian dalamnya terlihat ruang
sholat yang luas tanpa dinding, sehingga dari luar dapat terlihat lantai atas
berbentuk U yang diperuntukkan jamaah wanita. Sebuah lampu berbentuk lingkaran
tergantung di atap masjid yang berhiaskan ornamen khas Islam. Di bagian dalam
masjid puluhan tiang berdiri kokoh menopang lantai atas. Di bagian paling depan
terlihat jelas bagian mihrab masjid kampus ini. Sebuah ruangan cekung diapit
jam besar dan mimbar kayu yang berada di kedua sisi sampingnya.
Puas menikmati
keindahan masjid, kini pandanganku tertuju pada sesosok wajah yang tak asing
bagiku. Seorang lelaki berkacamata dan berambut ikal terlihat rapi mengenakan
kemeja biru. Kak Firman?
***
Sore ini aku
bertemu dengan Kak Firman secara tak terduga. Ini pertama kalinya aku melihat
Kak Firman sejak enam bulan aku tinggal di Jogja. Letak Fakultas Kedokteran dan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis memang berjauhan. Di UGM antara kampus rumpun
saintek dan rumpun sosio-humaniora terpisahkan oleh jalan Kaliurang. Jika tidak
ada kegiatan yang sama di tingkat universitas, maka sangat wajar jika mahasiswa
yang berbeda fakultas tidak pernah bertemu.
Sepertinya Kak
Firman tidak banyak berubah, hanya saja terlihat semakin dewasa dengan jenggot
tipisnya. Dan ternyata benar dugaanku, Kak Firman memang sudah melupakanku.
Buktinya, sore tadi ia tak mengenaliku sama sekali. Ia lewat tepat di depanku,
berjalan menuju sekumpulan mahasiswa yang sedang berdiskusi di selasar masjid tanpa
menoleh sedikit pun ke arahku. Hanya kata permisi yang keluar dari bibirnya. Mungkinkah
ia tidak mengenaliku dengan penampilan baruku ini?
Aku kembali memutar
memori, mengingat tujuan awalku kuliah di kampus ini. Aku berjuang untuk
diterima di kampus ini hanya untuk bertemu lagi dengan Kak Firman. Ah...
sepertinya tujuan awalku sudah tak penting lagi bagiku sekarang. Menguap, entah
kemana.
***
Inilah diriku
kini. Aku merasa terlahir menjadi Raya yang baru. Raya yang berjuang agar tak
terhanyut dan tenggelam dalam samudera fatamorgana dunia. Kini aku sangat yakin
Allah menyayangiku, Dia mengabulkan keinginanku, berhijrah ke Jogja untuk
menggapai cintaku. Ya, aku sudah menemukannya, cinta sejatiku. Kekasih abadi
yang dapat memahami setiap bait suara hati. Bukan. Bukan lagi bintang. Kini Dialah
cintaku. Dan selamanya cinta.
Komentar
Posting Komentar