TAAT BERSAMAMU, AYAH…
Oleh Diah Ayu Hidayah
Seperti
hari-hari biasanya. Setiap pukul tiga pagi, mata keluarga Hamdan sudah
terbelalak bangun dari hangatnya selimut kumuh yang menyelimuti tubuh mereka
saat terlelap. Menyibak kesunyian dengan kesibukkan mereka. Di saat tetangga
yang lain terbang dengan mimpi-mimpi tidurnya , keluarga Hamdan harus sudah
menginjakkan kakinya. Turun dari tempat tidur mereka. Hidup ini memang keras!
Menindas mereka yang berleha-leha tidak mau bekerja. Sekerumunan angin berlari
kencang dari arah barat, menerobos celah-celah dinding bambu rumah Hamdan.
Menyelusup masuk ke tulang-tulang keluarganya. “Brrrrr…!!!” Hamdan bersedekap
kedinginan di pintu belakang, ia hendak berwudhu untuk bercakap-cakap dengan
Allah. Sementara Emak dan Bapaknya sibuk menyiapkan barang dagangan mereka pagi
ini. Emak Sri membungkusi sayur-sayur matang yang terkulai hangat di kuali
hitam, sedangkan Pak Santos menyiapkan
motor dan obrok tuanya .
“Ndan..! Hamdan?”Mak Sri memanggil
Hamdan, namun masih saja senyap tanpa jawaban.
“Owh..lagi sholat ya,Le?” Mak Sri menambahi.
“Pripun,Mak’e?”
Hamdan keluar dari kamarnya. Masih lengkap dengan sarung dan kopiahnya ia
berjalan menuju Emak Sri.
“Ini tolong dikareti satu-satu yo,Le? Mak tak sholat tahajud dulu!”
perintah Mak Sri sambil memberikan irusnya ke Hamdan. Duduklah bersedeku Hamdan
di atas sebuah kayu yang sengaja digunakan sebagai kursi duduk. Kau tau apa
yang terjadi? Saat dirinya asyik menuangkan sayur ke plastik lalu mengkaretinya
satu per satu, tak disangka-sangka butiran bening dan asin mengalir perlahan,
mengguyur pori-pori Hamdan. Ia berimajinasi dengan seberak harapan,
membayangkan keluarganya bisa berubah seperti apa yang Hamdan lihat dari
tetangga-tetangganya yang sukses. Sesekali ia usap buliran air mata yang hendak
jatuh, kesedihannya kali ini benar-benar meresap dalam hati.
“Wes
selesai,Ndan?” tanya Mak Sri sambil menepuk pundak Hamdan yang gagah menopang
kerasnya hidup. Mak Sri sejenak terdiam. Memperhatikan anaknya yang berlinang
air mata, di wajahnya tersirat semburat asa yang berkobar-kobar.Seketika
pelukan Hamdan datang melibas seperti air bah. Emaknya ia peluk erat sekali,
sambil menangis tersedu-sedu ia ceritakan harapan dan impian-impiannya.
“Mak,Hamdan pengen Bapak sholat.
Pengen Bapak ngaji, pengen Bapak
berubah,Maaak!”adunya dengan tangis yang masih tersedu-sedu. Wajahnya
ia tempelkan di kaos Emak. Pelan-pelan
ia terus membisikkan kata-kata itu di telinga kanan Emaknya. Suaranya lirih sekali,
namun sesakkan tangis meluap kencang. Pak
Santos adalah orang yang sangat keras kepala. Bahkan hatinya pun ikut keras,suara
adzan yang tak henti memanggil tiada pernah ia hiraukan,Al-quran yang tertata
rapi di atas jejeran buku-buku saja hanya sebatas pemandangan elok baginya. Tak
pernah disentuh apalagi dibaca. Hamdan dan Emak buntu, entah harus seperti apa
lagi mengingatkannya selain do’a.
Jarum jam berputar tepat menunjukkan
pukul 04.45 WIB. Sayup-sayup angin masih mengitari lingkungan mereka. Dingin
sekali pagi ini!
“Pak,Monggo sholat dulu! Hamdan udah nunggu,Pak.” perintah Emak Sri
sambil mengenakan mukena.
“Duluan aja,Mak. Nanti nyusul!”
dengan santainya Pak Santos menjawab. Bibirnya sibuk menyeruput segelas kopi
hitam yang Emak Sri siapkan setiap pagi.
*****
“Ayo,Mak ! Udah jam lima!” perintah
Pak Santos sambil menunggangi motor.
“Bawa rotan ndak,Pak?”
“Nggak usah!” jawab Pak Santos
singkat.
“Ndan?? Ayo,Le..! Ini tolong
dibantuin naik motor Emaknya!” seru Emak Sri. Setiap pagi Hamdan tak pernah absen
membantu orang tuanya. Dari mulai membungkus sayur,membopong dua sampai tiga
karung tepung terigu yang juga dijual Emaknya bahkan sampai urusan rumah semua
adalah tugas Hamdan seorang diri. Adik perempuannya masih terbilang kecil,
namanya Nina, sekarang masih duduk di kelas tiga SD.
Di tengah-tengah perjalanan menuju
pasar,tiba-tiba terbesit dalam pikiran Emak Sri mengingatkan sesuatu.
“Pak! Bapak kan belum sholat? Tadi
katanya mau nyusul, tapi kok..?”
“Hallah,Mak..Mak! Apa sebelumnya Aku
ini sholat? Nggak kan?” bentak Pak Santos sambil menambah laju kecepatannya.
Hati Mak Sri terkoyak mendengar
perkataan suaminya itu. Hanya bisa beristighfar menyaksikan percikan dosa.
Sampai di pertigaan makam. Tanpa
kompromi dulu, datang tiga orang pemuda bertubuh kekar dan berambut pirang.
Salah satu dari mereka berboncengan, laju motornya semakin kencang mendekat ke
arah Mak Sri dan Pak Santos.
“Ssreett!!!!!” suara rem motor para
pemuda itu keras sekali. Motornya melintang jelas di depan Pak Santos.
“Mau mati kamu ya!!!” bentak salah
satu pemuda berambut pirang sambil mengeluarkan pistol. Dengan sigap ia turun
dari motornya. Mendekat dan menodongkan pistol ke kepala Pak Santos. Tangannya
meraba-raba saku Pak Santos, mencari STNK dan uang. Pak Santos kuyup dengan
rasa takut kehilangan nyawa. Ia hanya berserah pasrah melihat para pemuda licik
merebut satu per satu hartanya.
“Goblok..!! Seandainya tadi bawa rotan. Pasti mampus bangsat ini!” Pak
Santos bergumam menyesal.
“Woy..!
Woy..! Buk,apa ini? Dompet mana dompet?” ucap pemuda berjaket hitam sambil
menarik-narik tas yang Mak Sri cantolkan di bahunya. Saat Mak Sri mencoba
merebut kembali tasnya, tak segan pemuda itu menodongkan pisau panjang
bergagang tumpul ke leher Mak Sri.
“Njeh..njeh..!
Ini tasnya ambil, tapi tolong Hp saya
jangan diambil di tas itu!” rayu Mak Sri kepada pemuda itu dengan kalimat
patah-patah dan tangannya bergemetaran .
Tanpa pandang bulu, setelah beberapa menit berebut tas akhirnya para
pembegal berhasil merampas motor yang hampir lunas satu bulan lagi, satu
kantong plastik besar yang di dalamnya duduk sayur matang nan hangat juga tas
Mak Sri yang lengkap dengan uang tunai satu juta dua ratus ribu rupiah dan Hp Nokia bercassing merah yang belum lama dibelikan oleh saudaranya. Rencananya
uang satu juta itu akan Mak Sri gunakan untuk membayar hutang semen di salah
satu toko. Tapi naas! Pembegal brengsek merampas semuanya!
****
Satu bulan setelah kejadian
itu, Pak Santos dan istrinya menjadi pengangguran. Mereka hanya mengandalkan
hasil kebun saat panen.Terkadang juga harus berhutang ke Bank untuk melengkapi
kebutuhan yang kurang. Tak hanya uang yang kurang, keimanan Pak Santos juga
miris! Ia semakin berontak menolak ajakan Hamdan yang terus menerus mengajaknya
sholat. Sementara Hamdan masih sibuk
dengan kuliahnya, ia adalah mahasiswa semester satu di IAIN Bandar Lampung.
Prestasinya gemilang, orangnya ramah dan berlesung pipi. Semenjak menginjakkan
diri di tanah kampus, Hamdan terlihat semakin tekun dan rajin beribadah, rajin
sekali pergi ke masjid bahkan penampilannya yang dulu serba panjang, kini
celananya mulai sedikit cingkrang seperti orang-orang agamis biasanya. Hal ini
sangat berbanding terbalik dengan keadaannya Bapaknya,Pak Santos, yang tak
ubahnya seperti batu.
“Ndan..! Ndan..! Suaramu dikecilin!
Berisik..!” perintah Pak Santos kepada Hamdan yang sedang menyelesaikan target
membaca Qur’annya yakni satu hari satu juz.
“Suaraku kurang bagus kali ya?”
gumam Hamdan sambil mengereyitkan wajah. Karena setahu Hamdan seseorang akan
bergetar atau merasa tenang jika mendengar kalimat-kalimat Allah dibacakan,
tapi ternyata tidak berlaku untuk
bapaknya. Dari situlah keinginan Hamdan untuk menjadi seorang hafidz
bersuara merdu membumbung tinggi.
“Kamu tuh mbok lihat tetangga kita yang paling kaya,Ndan! Pak Jundi, apa
pernah menginjakkan kaki ke masjid? Apa pernah ia ngaji?? Nggak,Ndan!! Tapi dia
tetep aja jadi orang kaya. Lah kamu loh?? Nggak pernah telat ngaji, tapi tetep
kere!”ucap Pak Santos membandingkan. Bak sayatan pisau berkarat, kata-kata itu
mengiris hati Hamdan yang tak kuasa mendengarnya. Berulang kali ia ucapkan
istighfar sambil mengelus dada.
*****
Geser
waktu terus melaju. Hari berganti hari, bulan pun mengikutinya. Tak pernah
sekali pun Hamdan mendengkur lelah menapaki impian dan mengayuh asa . Menuntut
ilmu, menghafal kalam-Nya sampai berbagai pelatihan ia selalu aktif.
Angin
berarak kencang malam itu, helai-helai lara juga ikut bergoyang mengikuti
perginya angin, daun pintu pun seketika
berteriak diterpanya. “Breees….!!!” hujan turun membasahi bumi yang haus akan kebenaran.
Sungguh ini suasana malam yang amat tenang.
“Pak, kenapa menangis? Apa ada yang
salah dengan masakanku? Atau perkataanku?” tanya Mak Sri membelai lembut pipi
Pak Santos. Pak Santos hanya tertegun memandangi Hamdan yang tertidur dengan
pulasnya.
“Pak??” tegur Mak Sri membuyarkan
tatapan Pak Santos.
“Mak, Bapak baru sadar ternyata kita
punya anak yang begitu sholih, taat dengan orang tuanya, takut dengan Tuhannya
dan sangat mengidolakan Rasulnya. Tidak seperti Bapaknya,Mak? Tidaak!” ungkap
Pak Santos sambil tersedu-sedu melihat Hamdan tertidur mendekap Al- Qurannya, air mata membanjiri pipi
kuningnya yang mulai keriput termakan waktu, tangannya ia dekapkan ke kepala
membayangkan dirinya yang begitu jauh dengan anaknnya.
“Alhamdulillah..akhirnya Bapak
menyadari” gumam Mak Sri dalam hati.
“ Jujur ,Mak. Bapak minggu-minggu
ini terkagum-kagum dengan Hamdan. Coba perhatikkan cara membaca Al-Qur’annya,Mak!
Beda dari yang dulu,Mak! Masyaa Allah indah sekali!” puji Pak Santos kepada
puteranya.
Subuh mulai merangkak datang,
diiringi kokokkan ayam yang bersahut ramai, membuat Pak Santos dan Mak Sri terbangun dari
empuknya kasur, merontak rindu kepada
Sang Maha Cinta. Saat hendak berwudhu, matanya tersentak kaget menyaksikan
Hamdan yang masih dalam posisi tidur yang sama. Pak Santos segera membangunkan
Hamdan, khawatir sekali terjadi apa-apa. Bagaimana tidak? Sejak tadi malam
posisi tidurnya tak pernah berubah sedikit pun, Al-Quran yang didekapnya pun
tetap di posisi yang sama. “Masyaa Allah,Mak…!! Maaaaak..!” Pak Santos mencoba
memanggil Mak Sri. “Ada apa sih,Pak? Kok teriak-teriak?” tanya Mak Sri menuju
kamar Hamdan. “Hiiiks..! Hiks!” suara tangis pecah dengan dahsyatnya. Keduanya
saling menciumi wajah Hamdan, tangan mereka dengan kompak meluruskan tubuh
Hamdan ke posisi yang lebih nyaman. Kau tahu apa yang terjadi? Ternyata malam
jumat saat Pak Santos tak sengaja
melihat Hamdan tertidur mendekap Qurannya adalah hari terakhir Hamdan
bertilawah. Hembusan nafas paling akhir setelah sholat isya’. Malam jumat itu
segalanya menjadi yang terakhir untuk Hamdan. Pak Santos seketika merasa
dicambuk dengan kilat kesadaran akan kesholihan Hamdan yang terus mengajaknya
berhijrah.
“Astaghfirullahaladzim…,Astaghfirullah,Mak!
Betapa bodohnya aku? Kenapa aku baru menyadari semuanya setalah semuanya
terjadi,Mak??? Lihat ini,Mak! Lihat,Mak! Senyumnya merekah indah walau pun ia
sudah meninggal,Mak!” Pak Santos memukuli kepalanya, menyesal dan terus
membodohkan dirinya sendiri.
“Le..?
Lihat Bapak, Le! Lihat! Katakan apa
yang sebenarnya kau lihat di alam sana? Kenapa kau tersenyum begitu bahagia,Le? Ceritakan,Le! Hiiks..! Hiiiks!!” ungkap Pak Santos seperti orang setengah
sadar. Pelukannya begitu hangat menempel di tubuh Hamdan yang terbujur kaku
dengan senyumnya.
*****
Allah selalu menyelipkan
hikmah, membungkusnya dengan apik di balik sebuah musibah. Allah selalu
tunjukkan jalan bagi hambanya yang ingin kembali menapaki jalan-Nya. Kini, setelah kematian anak
pertamanya,Hamdan. Allah seperti membukakan mata Pak Santos akan indahnya Islam
selama ini. Siapa sangka? Seseorang penjudi dan pemalas berat dalam beribadah
seperti Pak Santos, kini sudah berhijrah ke jalan Allah. Hari-harinya ia lalui
dengan ibadah dan shodaqoh. Setiap hembusan nafasnya ia baluri dengan dzikir
dan sholawat Nabi.
Hidayah memang datang dari Allah dan Allah akan menghadirkannya kepada
orang-orang yang ia kehendaki. Hamdan , seorang pemuda cerdas dan pantang
menyerah menyeru dakwah, kini berhasil membuat keluarganya berubah, terlebih
Sang Bapak. Ya. Pak Santos luluh hatinya karena setiap hari telinganya
mendengar indahnya lantunan ayat-ayat Allah lewat suara indah anaknya, Hamdan.
Kini setelah berbagai aral dan ujian menyelimuti roda kehidupan mereka, Allah
izinkan keluarga Hamdan tuk kembali ke jalan-Nya.
Komentar
Posting Komentar